RUMAH BELAJAR LIRE KUNUME: Sebagai Alat untuk Mengembalikan Identitas Orang Papu
- Lêgerîn 2
- 7 jam yang lalu
- 5 menit membaca
Rio Kogoya
Rio Kogoya adalah pemuda asli dataran tinggi Papua Barat yang berasal dari suku Lani. Ia juga merupakan anggota Pemuda Papua Progresif (KMP2), sebuah kolektif pemuda Papua yang didirikan di Jakarta pada tahun 2023. Tujuan pertama adalah untuk berdiskusi dan mengembangkan individu-individu progresif yang memperjuangkan solusi arus utama atas konflik Papua Barat, dan juga untuk menghilangkan patronisme dalam gerakan demokrasi. Kolektif tersebut telah mengadaptasi prinsip-prinsip Konfederalisme Demokratik yang dikembangkan oleh Abdullah Öcallan untuk mengorganisasi masyarakat. Prinsip lain yang diadopsi adalah “memahami bukan memerintah”, yang diadopsi dari gerakan Zapatista di Meksiko.

Sejak pemerintah Indonesia menguasai Papua Barat, yang didukung oleh kaum imperialis Barat, penduduk asli Papua telah kehilangan segalanya. Hutan, air, tanah, dan budaya kami hancur akibat eksploitasi. Banyak orang Papua melihat keberadaan pemerintah Indonesia sebagai negara kolonial. Pemerintah telah menduduki tanah leluhur kami dan mengebom desa-desa kami sejak tahun 1961.
Dalam proses pendudukan, pemerintah Indonesia berusaha mengubah demografi populasi secara besar-besaran dengan melaksanakan program transmigrasi yang dilaksanakan tahun 1964 hingga 1999 di bawah rezim presiden Soeharto. Meskipun program ini telah ada sejak penjajahan barat, di sini saya hanya akan fokus pada rezim kolonial Indonesia. Program ini berhenti pada tahun 1999, tetapi presiden yang baru terpilih, Prabowo Subianto, sangat ingin menyelenggarakannya kembali pada tahun 2023. Program transmigrasi bertujuan untuk merelokasi orang-orang terutama dari Jawa ke Papua Barat, alasan politiknya adalah untuk membantu pembangunan di Papua Barat. Dampaknya luar biasa terhadap penduduk asli. Cara hidup, tradisi, dan populasi kami didominasi oleh orang luar. Dan pemerintah merampas sejumlah besar tanah adat untuk dimanfaatkan oleh para transmigran. Pergeseran populasi juga telah memicu ketegangan antara penduduk asli dan orang luar (pendatang). Banyak yang berpendapat bahwa program tersebut merupakan bagian dari settler colonialism.
Di samping program transmigrasi, ada pula eksploitasi besar-besaran yang menjauhkan penduduk asli Papua dari tanah dan budaya mereka. Misalnya, program pangan yang disebut Proyek Strategis Nasional (PSN). Perampasan jutaan hektar tanah adat untuk menanam tebu. Kedua program tersebut dijalankan oleh militer, yang datang untuk melindungi para transmigran dan PSN.
Pemuda Papua Barat
Kolonialisme di Papua Barat telah mempengaruhi generasi muda. Sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa negara penjajah di mana-mana selalu berusaha untuk menghilangkan budaya dan tradisi kaum terjajah. Berusaha untuk memisahkan generasi muda dari akar mereka dan membuat mereka merasa rendah diri. Negara kolonial telah menyuntikkan pendidikan dan nilai-nilai kehidupan khas kolonial kepada mereka, dengan tujuan untuk membingkai apa yang menjadi milik kaum terjajah sebagai hal yang buruk, takhayul, dan mengandung ilmu hitam.
Di Papua Barat, kebanyakan anak muda tidak lagi berbicara dalam bahasa ibu mereka, mempraktikkan tradisi mereka, atau mengenakan pakaian tradisional. Terkadang kami merasa malu, ketinggalan zaman, dan takut. Pada tahun 1970, terdapat operasi militer bernama Operasi Koteka, di mana tentara Indonesia melarang penduduk asli di pegunungan (Wamena, Enarotali, dan Wagate) mengenakan Koteka atau pakaian tradisional. Mereka dipaksa mengenakan pakaian modern seperti celana, kemeja, dan lain-lain sebagai simbol peradaban. Di sekolah, kami hanya belajar tentang budaya dan sejarah Jawa dan budaya Indonesia Barat lainnya. Kami hanya diberi pengetahuan terbatas tentang budaya kami sendiri. Terdapat 250 suku di Papua Barat yang masing-masing memiliki pengetahuan lokal yang berbeda, tetapi kami hanya mengetahui Honai (1) sebagai rumah adat kami. Meskipun ada Befak dari suku Malind, Kunume dari suku Dani, Kamasan dari Biak, dan masih banyak lagi.
Bagi saya pribadi, dampak paling mematikan dari kolonialisme di Papua Barat adalah penindasan terhadap kaum perempuan. Hal ini didukung oleh ekspansi modal dalam mega proyek dan pertambangan seperti PT Freeport, PSN, BP Petroleum dan masih banyak lagi. Dahulu para leluhur kami menghargai kaum perempuan sebagai sumber kehidupan. Mereka lah yang memelihara tanah dan menjaga hutan. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan sangat jelas, misalnya laki-laki bertugas membersihkan kebun sementara perempuan menanam sayur-sayuran, dan panen akan dilakukan bersama-sama. Hasil panen pertama akan dibagikan kepada seluruh masyarakat kemudian yang berikutnya dapat kami gunakan untuk rumah tangga kami. Kami hidup berdampingan dan menyelesaikan semuanya bersama-sama. Namun ketika negara penjajah muncul dari barat untuk menciptakan Indonesia yang didukung oleh imperialisme, semuanya menjadi kabur dan hancur.
Alongside the presence of multinational companies supported by the Indonesian government, women suffer a lot. In our traditions the men possess land and they have the rights to decide what to do with it. But the decisions must be for the benefits of the whole community. It changed after multinational companies and other extractive government projects came. The corporations use bribery as a strategy. They approached some indigenous leaders and politicians to give them cash, alcohol and women sex workers to hand over the land ownership rights for the company. Indigenous women were never involved in the process while they are the one who nurture the land. This leads to violence in the domestic area.
Di samping kehadiran perusahaan multinasional yang didukung oleh pemerintah Indonesia, kaum perempuan juga banyak menderita. Dalam tradisi kami, kaum lelaki memiliki tanah dan mereka berhak untuk memutuskan apa yang harus dilakukan dengan tanah tersebut. Namun, keputusan tersebut harus dilakukan untuk kepentingan seluruh masyarakat. Keadaan berubah setelah perusahaan multinasional dan proyek ekstraktif pemerintah lainnya hadir. Korporasi menggunakan suap sebagai strategi. Mereka mendekati beberapa pemimpin adat dan politisi untuk memberi mereka uang tunai, alkohol, dan pekerja seks perempuan agar mereka mau menyerahkan hak kepemilikan tanah kepada perusahaan (2). Perempuan adat tidak pernah dilibatkan dalam proses tersebut, padahal merekalah yang memelihara tanah tersebut. Hal ini berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.
Liru Kunume dan Perebutan Kembali
Di tengah ketidakpastian dan penindasan, kami tetap percaya bahwa masih ada harapan, asalkan kami sebagai generasi muda mau mengorganisasi diri dan melawan. Di Papua Barat, kami telah memulai wadah untuk belajar bersama tentang jati diri kami. Kami mendirikan Liru Kunume pada 1 Desember 2023 untuk mengatasi rasa inferioritas yang telah membunuh rasa percaya diri kami. Liru berarti belajar dan Kunume berarti rumah belajar. Bahasa ini merupakan bahasa suku Lani yang mendiami wilayah dataran tinggi Papua Barat. Kami termotivasi oleh perspektif Abdullah Öcalan tentang Konfederalisme Demokratik yang lebih menghargai perbedaan dalam masyarakat daripada nasionalisme. Kami percaya bahwa dengan menciptakan ruang dialog antar suku di Papua Barat, kami dapat menemukan strategi untuk merebut kembali jati diri kami, dan melawan sistem yang tertindas. Hubungan antara perempuan dan laki-laki yang telah rusak oleh sistem kapitalis di Papua Barat dapat dipulihkan menggunakan pengalaman di Rojava, yang berhasil mendirikan akademi Jineologi. Hal ini dapat kami gunakan sebagai pedoman untuk memahami pengetahuan perempuan di Papua Barat.
Kami percaya dengan menciptakan ruang aman untuk berbicara tentang sejarah, tradisi, kebiasaan, dan pengetahuan lokal lainnya, kami dapat menciptakan persatuan antarmasyarakat. Dan bagian terpentingnya adalah merebut kembali identitas kami yang hancur sebagai orang Papua. Liru Kunume diharapkan menjadi rumah kolektif bagi semua suku yang berbagi pengetahuan dan pengalaman kekerasan yang menimpa mereka, dan untuk menciptakan ide-ide untuk merebut kembali apa yang menjadi milik kami.
Comments